Selasa, 22 Juli 2008

KORUPTOR WAJIB di HUKUM MATI...

Koruptor Pantas Dijatuhi Hukuman Mati

AlexiusTantrajaya SH

Hari antikorupsi telah dicanangan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk diperingati setiap tanggal 9
Desember. Pencanangan tersebut diharapkan menandai babak
baru bagi masyarakat kita untuk menolak segala bentuk korupsi
di semua lini kehidupannya.


Hal yang dilakukan di Cina amat baik untuk dicontoh.
Negeri itu telah menabuh genderang perang melawan korupsi
dan menyerukan, "Cina mengejar koruptor hingga ke liang kubur".
Hasilnya, sampai pertengahan tahun ini sudah 4.000 koruptor
dihukum mati.

Sebetulnya, ketika awal reformasi, bangsa Indonesia
telah bersepakat untuk memberantas korupsi.
Hal ini ditandai dengan adanya Ketetapan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Bahkan korupsi dikategorikan sebagai
tindak pidana luar biasa, yang cara penanganannya
harus luar biasa pula. Korupsi dikategorikan tindak
pidana luar biasa (extra ordinary crime) karena
kejahatan tersebut telah merontokkan perekonomian
negara. Selain itu, korupsi yang begitu marak
telah membuat citra buruk.
Indonesia dicap sebagai negeri terkorup di dunia.

Namun, hingga pemerintahan pertama di era
reformasi berakhir masa baktinya, penanganan
korupsi dinilai belum serius. Dan kini,
masyarakat menunggu janji pemimpin yang
dipilihnya secara langsung dalam memberantas korupsi.
Secara politis, seharusnya mudah bagi
pemerintah sekarang untuk berintdak tegas kepada
para koruptor. Karena mayoritas masyarakat
tentulah sangat mendukung bila para koruptor
dijatuhi hukuman setimpal.

Presiden berkali-kali memyatakan hendak
memberantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Pernyataan pertama disampaikan ketika mengambil
sumpah para menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Kemudian dipertegas kembali di hadapan para gubernur
kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara,
pada saat pencanangan hari antikorupsi.

Dalam Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman
maksimal adalah seumur hidup, kecuali
apabila dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan (vide pasal 2 ayat 2).

Berkait dengan hukuman mati, sejumlah
kalangan melalui diskusi-diskusi justru
mendesak supaya ancaman pidana tersebut
segera dihapus dari sistem hukum
positif Indonesia karena bertentangan
dengan hak asasi manusia (HAM) dan pasal
28 huruf i Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
yang menjamin hak hidup setiap orang
tanpa dikurangi sedikit pun.

Namun bagaimana dengan koruptor yang
sudah sangat keterlaluan. Tuntutan hukuman
mati bagi koruptor, yang kerap disampaikan
oleh berbagai kelompok masyarakat,
tidaklah terlepas dari kondisi realistis
dari sistem pemidanaan yang kita anut
selama ini yang memberikan "discount"
hukuman bagi para terpidana.

Simak saja pelepasan bersyarat yang
diatur di dalam Pasal 15 dan 24 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Pasal 15 ayat (1) KUHP menentukan,
"Jika terpidana telah menjalani dua
per tiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-sekurangnya
harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan
pelepasan bersyarat". Sedangkan Pasal 24 KUHP menentukan,
"Orang yang dijatuhi pidana penjara atau pidana
kurungan boleh diwajibkan bekerja di dalam atau di luar
tembok tempat orang-orang terpidana". Belum lagi
remisi yang diberikan pada saat peringatan
hari kemerdekaan dan hari besar keagamaan.
Sehingga apabila "discount" penghukuman tersebut
bisa diperoleh terpidana, maka dapat dipastikan
terpidana korupsi tidak perlu berlama-lama menjalani
hukuman penjara sebagaimana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.

Oleh sebab itu, hukuman mati terhadap koruptor
sebagai jalan keluar untuk menurunkan peringkat
Indonesia sebagai negara terkorup di Asia dan
peringkat ke-6 terkorup di dunia masih bisa
diterapkan. Namun tentunya harus dilakukan
secara konsisten serta didukung dengan proses
peradilan yang bersih, jujur, cepat dan sederhana
di segala tingkat. Eksekusinya pun tidak perlu
berlama-lama.

Seiring dengan niat besar pemerintah untuk
memberantas KKN, Ketua Mahkamah Agung pun
ikut mendorong upaya tersebut.
Sikap tersebut diperlihatkan dengan
menekankan agar Pasal 50 Ayat (3) KUHAP
dilaksanakan secara konsisten untuk
merealisasikan kebijakan percepatan
proses persidangan melalui instruksi-instruksi
ke Pengadilan dan Mahkamah Agung mengenai prioritas
percepatan proses persidangan dan proses administratif
dalam perkara korupsi

Dalam rumusan Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) hanya menentukan,
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan".Sedangkan di dalam penjelasan
UUPTPK tidak memberikan kriteria jelas mengenai
"keadaan tertentu". Maka sejalan dengan tekad
bersama untuk memberantas korupsi dari bumi pertiwi,
sudah saatnya Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Kepolisian
melalui forum setaraf Mahkejapol menyatukan
interprestasi dan persepsi atas unsur "keadaan tertentu"
(acuan kondisi krismon, tekad anti korupsi, dsbnya)
guna dapat dijatuhkannya pidana mati sebagai terapi
kejut bagi koruptor, atau setidaknya putusan
yudikatif yang sudah berkekuatan tetap seperti itu dapat
dijadikan sebagai yurisprudensi bagi hakim
menjatuhkan putusan hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) UUPTPK.

Sebetulnya, pidana mati sudah diatur sebagai
jenis pemidanaan di Indonesia berdasarkan Pasal 10 KUHP.
Di luar KUHP adalah didalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Narkotika dan

Psikotropika, sedangkan di UUPTPK bila dilakukan dalam "keadaan tertentu".

Oleh karena hingga saat ini UUPTPK belum membuktikan
pasal pidana mati bagi koruptor, ditambah sistem
pemidanaan "discount" yang kita anut, korupsi semakin
marak di berbagai lini kehidupan, dari pejabat tinggi
hingga pegawai bawahan, baik di eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Akibatnya, Indonesia tetap
menjadi cemoohan internasional sebagai negara
terkorup tetapi tidak ada koruptornya yang ditangkap.

Kenyataan tersebut menjadi sangat tidak adil bila
dibandingkan dengan uang yang berhasil dikorup.

Singkat kata, langkah yang dilakukan selama
ini belum memberikan efek jera, terlebih dalam
hitungan ekonomi umumnya para koruptor
setelah menjalani hukuman penjara masih terjamin
hidupnya dari uang hasil korupsi yang berhasil
disembunyikan dan tetap berpeluang bisa menjadi
"konglomerat" .

Dengan demikian, karena korupsi telah merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
dan telah menyengsarakan masyarakat,
dan koruptor sudah dijadikan musuh bersama
seluruh bangsa, maka hukuman mati bagi para koruptor patut
dipertimbangkan untuk diterapkan.

Tidak ada komentar: